Monday, February 20, 2012

Amar ma'ruf nahi munkar

Hai anakku, dirikanlah salat dan suruhlah manusia mengerjakan yang baik dan cegahlah mereka dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).” [Luqman 17]

Jika kita tidak mau melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar, maka Allah akan menyiksa kita dengan pemimpin yang zhalim dan menindas kita dan tidak mengabulkan segala doa kita :

Hendaklah kamu beramar ma’ruf (menyuruh berbuat baik) dan bernahi mungkar (melarang berbuat jahat). Kalau tidak, maka Allah akan menguasakan atasmu orang-orang yang paling jahat di antara kamu, kemudian orang-orang yang baik-baik di antara kamu berdo’a dan tidak dikabulkan (do’a mereka). (HR. Abu Zar) [1]

Amar Ma'ruf Nahi Munkar dilakukan sesuai kemampuan. Yaitu dengan tangan/kekuasaan jika dia adalah penguasa / punya jabatan. Dengan lisan / tulisan jika dia adalah jurnalis atau intelektual. Atau minimal membencinya dalam hati atas kemungkaran yang ada. Ini adalah selemah-lemah iman (Hadits). Pelaku amar ma’ruf nahi munkar hendaknya menghiasi dirinya dengan sifat terpuji dan akhlak mulia. Di antara sifat pelaku amar ma’ruf nahi munkar yang terpenting adalah :

Ikhlash

Hendaklah seorang pelaku amar ma’ruf nahi munkar manjadikan tujuannya keridhaan Allah semata, tidak mengharapkan balasan dan syukur dari orang lain. Demikianlah yang dilakukan para Nabi, Allah berfirman:

وَمَآأَسْئَلُكُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ إِنْ أَجْرِيَ إِلاَّ عَلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ

Dan aku sekali-kali tidak minta upah kepadamu atas ajakan itu, upahku tidak lain hanyalah dari Rabb semesta alam. (QS.Asy-Syu’araa` 26:145)

وَمآأَسْئَلُكُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ إِنْ أَجْرِيَ إِلاَّ عَلَى رَبِّ الْعَالَمِينََ

Dan sekali-kali aku tidak minta upah kepadamu atas ajakan itu; upahku tidak lain hanyalah dari Rabb semesta alam. (QS. Asy-Syu’araa`26:127)

وَمَآأَسْئَلُكُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ إِنْ أَجْرِيَ إِلاَّ عَلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ

Dan aku sekali-kali tidak minta upah kepadamu atas ajakan-ajakan itu; upahku tidak lain hanyalah dari Rabb semesta alam. (QS. Asy-Syu’araa` 26:109)

“Apabila amar ma’ruf nahi munkar tersebut mencakup hal yang mendatangkan kemaslahatan dan menolak kemudhorotan, maka harus dilihat penentangnya. Jika yang hilang dari kemaslahatan atau mafsadat yang datang lebih besar, mak dia tidak diperintahkan. Bahkan menjadi haram, bilamana mafsadatnya lebih besar dari kemaslahatannya. Akan tetapi standar ukuran maslahat dan mafsadatnya adalah syari’at.”

Orang yang ingin amar ma’ruf nahi munkar baik dengan lisannya, atau dengan tangannya begitu saja tanpa fiqih, hilm, kesabaran, tidak memandang apa yang maslahat dan yang tidak maslahat dan tidak mengukur mana yang mampu dan yang tidak dimampui Lalu melakukan amar ma’ruf nahi munkar dengan keyakinan mentaati Allah dan RasulNya, namun hakikatnya dia telah melanggar batasan-batasan Allah Ta’ala

Jika kemaslahatan lebih besar dari mafsadatnya, maka disyari’atkan beramar ma’ruf nahi munkar. Jika amar ma’ruf nahi munkar merupakan kewajiban yang agung atau sunnah, maka mesti kemaslahatan yang ada padanya lebih besar dari mafsadatnya, karena demikianlah para rasul diutus dan kitab-kitab suci diturunkan. Sedangkan Allah Ta’ala tidak menyukai kerusakan, bahkan seluruh perintahNya adalah kebaikan. Dia memuji kebaikan dan pelakunya serta orang yang beriman dan beramal sholih. Diapun mencela kerusakan dan orang yang melakukan kerusakan dalam banyak ayat di Al Qur’an.

Jika mafsadat lebih besar dari kemaslahatannya, maka diharamkan beramar ma’ruf nahi munkar, karena menolak mafsadat lebih didahulukan dari mendapat kemaslahatan. Apabila amar ma’ruf nahi munkar tersebut mencakup hal yang mendatangkan kemaslahatan dan menolak kemudhorotan, maka harus dilihat penentangnya. Jika yang hilang dari kemaslahatan atau mafsadat yang datang lebih besar, maka dia tidak diperintahkan. Bahkan menjadi haram, bilamana mafsadatnya lebih besar dari kemaslahatannya. Akan tetapi standar ukuran maslahat dan mafsadatnya adalah syari’at. Kapan saja seseorang sanggup melaksanakan apa yang diperintahkan syari’at, maka jangan berpaling darinya. Jika tidak, maka hendaklah ia berijtihad untuk mengetahui yang serupa dan sama, dan sedikit sekali orang yang pakar terhadap nash-nash dan penunjukannya terhadap hukum tidak menemukannya.

Jika ajakan melakukan ketaatan mendatangkan kemaksiatan yang lebih besar, maka ditinggalkan ajakan tersebut untuk menolak adanya kemaksiatan itu. Seorang alim dalam bayan dan balagh , terkadang mengakhirkan bayan dan balaghnya karena sesuatu sampai pada waktu yang pas, sebagaimana Allah Ta’ala mengakhirkan turunnya Ayat dan penjelasan hukum sampai waktu Rasululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam mampu menjelaskannya.

Jika mafsadat dan maslahat sama besarnya, tidak disyariatkan amar ma’ruf nahi munkar, karena tujuan dari pensyari’atan hukum-hukum adalah untuk menolak mafsadat dan mendapatkan maslahat bagi manusia. Jika perkara ma’ruf dan munkar sama dominant dan tak terpisah, maka amar ma’ruf nahi munkar tidak diperintahkan dan tidak dilarang. Terkadang amar ma’ruflah yang harus dilakukan dan terkadang nahi munkarlah yang harus dilakukan atau terkadang kedua-duanya tidak dilaksanakan, karena kema’rufan dan kemunkaran tidak terpisahkan.

Barang siapa yang meneliti fitnah yang besar atau kecil yang terjadi dalam Islam, akan melihat hal itu disebabkan karena melalaikan pokok kaedah ini dan tidak sabar dalam (mengingkari) kemunkaran. Menuntut hilangnya kemunkaran, akan tetapi lahir darinya kemunkaran yang lebih besar. Rasululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu melihat di Makkah satu kemunkaran besar dan tidak dapat merubahnya, bahkan ketika Allah taklukan Makkah dan menjadi negeri Islam, beliau bertekad untuk merubah Ka’bah dan mengembalikannya sesuai dasar bangunan Nabi Ibrohim. Akan tetapi tercegah -walaupun beliau mampu- kekhawatiran munculnya sesuatu yang lebih besar dari itu, berupa tantangan Quraisy, karena mereka baru masuk Islam dan meninggalkan kekufuran. Oleh karena itu tidak diizinkan mengingkari para penguasa dengan tangan, karena akan menghasilkan kemunculan sesuatu yang lebih besar darinya.”

Hendaknya pelaku amar ma’ruf nahi munkar mengenal dan mengetahui kaidah Saddudz dzara’I menahan sesuatu yang dapat mengantar kepada kemunkaran. Sebagaimana digunakan Allah Ta’ala dalam firmanNya:

وَلاَتَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِن دُونِ اللهِ فَيَسُبُّوا اللهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ كَذَلِكَ زَيَّنَّا لِكُلٍّ أُمَّةٍ عَمَلَهُمْ ثُمَّ 

إِلَى رَبِّهِم مَّرْجِعُهُمْ فَيُنَبِّئُهُمْ بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jaidkan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Rabb mereka kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan. (QS. 6:108)

Demikian juga Rasululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam mencontohkan hal itu dalam hadits :

عَنْ صَفِيَّةَ بِنْتِ حُيَيٍّ قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُعْتَكِفًا فَأَتَيْتُهُ أَزُورُهُ لَيْلًا فَحَدَّثْتُهُ ثُمَّ قُمْتُ فَانْقَلَبْتُ فَقَامَ مَعِي لِيَقْلِبَنِي فَمَرَّ رَجُلَانِ مِنَ الْأَنْصَارِ فَلَمَّا رَأَيَا النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَسْرَعَا فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى رِسْلِكُمَا إِنَّهَا صَفِيَّةُ بِنْتُ حُيَيٍّ فَقَالَا سُبْحَانَ اللَّهِ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ إِنَّ الشَّيْطَانَ يَجْرِي مِنَ الْإِنْسَانِ مَجْرَى الدَّمِ وَإِنِّي خَشِيتُ أَنْ يَقْذِفَ فِي قُلُوبِكُمَا سُوءًا أَوْ قَالَ شَيْئًا

Dari Shofiyah binti Huyaiy, beliau berkata:”Rasululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang beri’tikaf, lalu aku datang menziarahinya pada satu malam. Saya berbicara kepada beliau, lalu bangkit untuk pulang. Kamudian beliau bangkit untuk mengantarkanku, lalu lewatlah dua orang anshor. Ketika beliau melihat keduanya mempercepat jalan, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Perlahanlah kalian, sesungguhnya dia adalah Shofiyah binti Huyaiy.” Lalu keduanya berkata: “Subhanallah, wahai Rasululloh.” Beliau berkata: ” sesungguhnya Syeithon masuk ke dalam manusia melalui aliran darah dan aku khawatir dia memasukkan kejelekan ke dalam hati kalian berdua.”. (Riwayat al-Bukhori dan Muslim).

Karena kebanyakan pelaku amar ma’ruf nahi munkar terkadang melampaui batasan, adakalanya karena kebodohan dan kadang karena kedzoliman. Permasalahan ini harus dilakukan dengan ketelitian, baik dalam mengingkari kemunkaran terhadap orang kafir, munafik, fasik atau orang yang bermaksiat.”

Kemudian dia berkata lagi :

Hendaklah melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar mengikuti tuntunan syari’at, dari ilmu, rifq, kesabaran, niat yang ikhlas dan mengikuti jalan yang lurus. Hendaklah menjadi teladan bagi orang lain, karena pengaruh mencontoh dan meniru cukup besar dalam diri orang yang didakwahi. Oleh karena itu Allah Ta’ala jadikan Rasululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam contoh teladan terbaik agar manusia mencontoh seluruh perbuatan dan perkataannya. Allah berfirman:

لَّقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُوا اللهَ وَالْيَوْمَ اْلأَخِرَ وَذَكَرَ اللهَ كَثِيرًا

Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu yaitu bagi orang yang mengharap rahmat Allah dan kedatangan hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (QS. 33:21)

Sehingga seorang pelaku amar ma’ruf nahi munkar hendaklah merasa bahwa Islam memerintahkannya mengikuti teladan yang baik, teladan para Rasul, orang sholeh dan mulia. Hendaklah dia menjadi salah satu dari mereka tersebut, agar menjadi contoh teladan dalam perkataan dan perbuatan yang baik. Imam Al Hasan Al Bashriy berkata: “Penasehat adalah orang yang menasehati manusia dengan amalannya, bukan ucapannya. Demikianlah keadaan Rasululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam, jika ingin memerintahkan sesuatu, beliau mulai dari dirinya dan berbuat. Jika ingin melarang sesuatu, beliau berhenti darinya. Jangan sampai menjadi contoh jelek dalam masyarakat, sehingga termasuk orang yang dicela oleh Allah dalam firmanNya:

أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنْسَوْنَ أَنْفُسَكُمْ وَأَنْتُمْ تَتْلُونَ الْكِتَابَ أَفَلَا تَعْقِلُونَ

Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedang kamu melupakan diri (kewajiban)mu sendiri, padahal kamu membaca Al-Kitab (Taurat) Maka tidakkah kamu berpikir (QS. Al-Baqarah 2:44)

dan Rasululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya :

يُجَاءُ بِالرَّجُلِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَيُلْقَى فِي النَّارِ فَتَنْدَلِقُ أَقْتَابُهُ فِي النَّارِ فَيَدُورُ كَمَا يَدُورُ الْحِمَارُ
 
بِرَحَاهُ فَيَجْتَمِعُ أَهْلُ النَّارِ عَلَيْهِ فَيَقُولُونَ أَيْ فُلاَنُ مَا شَأْنُكَ أَلَيْسَ كُنْتَ تَأْمُرُنَا بِالْمَعْرُوفِ

 وَتَنْهَانَا عَنِ الْمُنْكَرِ قَالَ كُنْتُ آمُرُكُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَلاَ آتِيهِ وَأَنْهَاكُمْ عَنِ الْمُنْكَرِ وَآتِيهِ

Didatangkan pada hari kiamat seorang, lalu dilemparkan ke neraka, sehingga usus-ususnya keluar di neraka, lalu dia berputar seperti berputarnya keledai di batu gilingannya. Ahli neraka berkumpul mengelilinginya, mereka berkata: “Wahai fulan, kenapa kamu ini? Bukankah dulu engkau beramar ma’ruf nahi munkar?” dia menjawab: “Saya dulu beramar ma’ruf dan saya tidak melaksanakannya dan mencegah kemunkaran dan saya melakukannya”. (Riwayat al-Bukhori dan Muslim ).

Dengan demikian pelaku amar ma’ruf nahi munkar harus menjadi teladan baik dalam masyarakatnya. Tentunya hal ini tidak lepas dari taufiq Allah Subhanahu wa Ta’ala, kemudian tarbiyah yang shohih.

Wallahu A'lam

0 comments:

Post a Comment

 

Blogroll

Site Info

?>

Text

Dunia Islam Copyright © 2009 WoodMag is Designed by Ipietoon for Free Blogger Template